Rabu, 14 Oktober 2009

SUAMI - ISTRI = SUPIR - KONDEKTUR

Kehidupan rumah tangga sering di analogikan oleh masyarakat dengan beberapa hal. Misalkan, dengan suatu kendaraan, seperti: mobil, behtera dan sebagainya.
Penganalogian itu ditambah dengan peran suami-istri. Ada yang menganalogikan suami-istri sebagai supir dan penumpang, karena dianggap bahwa suami adalah pemimpin dan istri sebagai pengikut saja.
Namun, bagi saya penganalogian tersebut kurang baik. Karena jika seperti itu, posisi istri hanya mengikuti saja apa yang suami lakukan yang dalam hal ini dianalogikan sebagai sopir, tidak peduli dengan kerja dan keputusan supir, penumpang hanya menuntut supaya diantar ke tempat tujuan, dan menilai untung-rugi.
Bagi saya, penganalogian itu akan lebih baik jika dibandingkan sebagai supir-kondoktur. Kenapa demikian?
Kita lihat mereka? Mereka membagi tugas sesuai dengan keahliannya, supir bertugas mengendalikan kemudi dan kondektur bertugas mencari penumpang dan mengurus keuangan, kondektur yang mengatur pengeluaran seperti untuk bayar tol, bensin, dan untuk setoran. Mereka bekerja sama menuju ke suatu tempat, bekerja sama mencari rizki, tidak ada penilaian untung rugi, mereka membagi tugas, dan mereka saling membantu tugas masing-masing.
Supir yang tugasnya menyetir tidak hanya terfokus menyetir, tapi dia juga jeli melihat lurus dan terkadang ke sebelah kanan mobil untuk mencari penumpng yang merupakan tugas pokok supir. Kondektur juga membantu supir mengawasi mobil lain ketika mobilnya hendak berbelok.
Seorang istri tidak hanya diam menunggu dan melihat serta menikmati hasil kerja suami apalagi banyak menuntut layaknya seorang penumpang yang hanya diam menunggu sampai tiba di tujuan dan terkadang banyak menuntut atau kerap asik sendiri, tidak peduli terhadap tugas supir, tidak peduli bisa menyetir atau tidak.
Jika penganalogian suami-istri adalah dengan supir-kondektur, maka apakah sebuah rumah tangga akan berlangsung harmonis dan bahagia?
Keutuhan rumah tangga itu akan bertahan dan membawa kebahagiaan jika suami-istri bertekad bersama-sama membentuk keluarga yang utuh dan harmonis. Tidak hanya seorang suami atau istri saja. Keduanya berusaha membentuk keluarga yang baik, jika hanya satu pihak saja yang berusaha kemudian pihak lainnya hanya diam bahkan merusak, maka keluarga tersebut rentan percekcokan dan rumah tangganya akan sulit untuk dipertahankan.
Dalam hal ini juga perlu adanya pembagian tugas antara suami-istri. Pembagian tugas ini bukan merendahkan salah satu pihak, akan tetapi berdasarkan potensi yang dimiliki masing-masing.
Seorang supir yang memang memiliki keahlian mengemudi, maka ia bertugas mengemudi, kondektur tentunya harus terampil mengatur keuangan dan jeli mencari penumpang, dia pun sebaiknya bisa mengemudi mobil, karena jika supir dalam keadaan tidak baik sehingga ia tidak bisa mengemudi, maka kondektur siap menggantikan supir.
Hal yang sama dalam rumah tangga, suami yang memiliki tenaga lebih, maka ia betugas mencari nafkah keluarga. Istri yang lemah lembut, penuh kasih, bersikap rapi, bersih, dan suka akan keindahan, maka ia dipercaya mengurusi anak-anak dan rumah tangga, namun istri pun sebaiknya bekerja dan memiliki penghasilan. Ini mungkin terdengar sangat memberatkan istri, padahal jika kita fikirkan kembali, itu merupakan kebaikan bagi dia dan keluarganya sendiri. Suami tidak selamanya mampu bekerja dan sehat, rejekipun tidak selamanya lancar, penghasilan istri dapat menjadi “ban serep” bagi ekonomi keluarga. Tidak perlu bekerja keras layaknya seorang suami atau laki-laki pada umumnya, namun industri rumahan atau pekerjaan ringan sangat baik baginya karena tugasnya untuk mengurusi rumah tangga dan anak-anak tidak boleh terabaikan.
Begitu pula suami, perlu juga membantu tugas istri. Mendidik anak bukan hanya tugas seorang Ibu akan tetapi sosok ayah begitu penting bagi anak, pekerjaan rumah yang berat perlu diambil alih oleh suami, seperti mengganti genteng yang bocor, merapihkan rumput-rumput halaman dan lain sebagainya, bila perlu, suami pun belajar memasak. Karena jika istri dalam keadaaan tidak baik, sedang hamil, atau melahirkan maka suami tidak kerepotan lagi karena ia bisa masak dan mencuci sendiri.
Bahkan Rasulullah saw. Pun kerap mengerjakan apa yang biasa seorang istri kerjakan.
Diriwayatkan Imam Bukhari dalam Kitab Faathul Baari; Ketika ditanya tentang apa yang dikerjakan Rasulullah saw ketika di rumah, maka Aisyah Radhiallahu ‘anha menjawab: “Beliau senantiasa membantu urusan rumah tangga, dan jika waktu shalat tiba, maka beliau pun pergi mengerjakan shalat.”
Sedangkan dalam riwayat Imam Ahmad, Bahwa Aisyah Radhiayallahu ‘Anha ditanya tentang rasulullah saw di rumah, maka Aisyah menjawab; “beliau menjahit pakaiannya, membetulkan sandalnya, dan mengerjakan apa-apa yang biasa dilakukan suami di rumah mereka.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar