Masyarakat umum beranggapan bahwa seksualitas seksualitas hanya dipandang dari segi genital saja atau yang disamakan dengan cara-cara berhubungan badan saja. Sigmund Freud, ilmuan yang tidak asing lagi di telinga para akademisi terutama di jurusan psikologi, dalam teori psikoanalisanya memperlihatkan bahwa pengertian seksualitas mempunyai isi yang lebih kompleks;
Hal yang penting untuk diketahui dalam masalah perkembangan seksualitas manusia yang dialami pada masa kecil. Adalah bahwa pada masa kanak-kanak, seksualitas masih bersifat bi-seksual; artinya perbedaan psikoseksual antara pria dan wanita merupakan buah hasil suatu perkembangan. Bagaimana ia merasa menjadi laki-laki atau perempuan adalah hasil dari asuhan orang tuanya atau lingkungan. Kita bisa melihat bahwa ketika anak perempuan di pakaikan gelang, kalung, rok, dan lain sebagainya, ketika itulah orang tua membentuk anak perempuannya itu menjadi seorang perempuan. Berbeda halnya dengan orang tua yang mendambakan seorang anak perempuan sedangkan anak yang lahir adalah laki-laki. Jika orang tua ini tidak mau menerima keadaan maka mungkin si anak akan diberi mainan, warna-warna mainan, cara asuh, atau bahkan pakaian akan diberikan yang lumrah dipakai oleh anak perempuan. Jika hal ini terjadi, maka si anak cenderung akan merasakan menjadi seorang anak perempuan.
Mula-mula seksualitas anak kecil baik perempuan atau laki-laki adalah sama, bahkan secara embriologi, alat kelamin manusia baik perempuan atau laki-laki adalah sama, namun pada perkembangan selanjutnya memiliki perkembangan yang berbeda. Sehingga membentuk penis bagi laki-laki dan vagina pada perempuan. Yang lebih ektrem lagi, penis dan vagina memiliki persamaan. Batang penis sering diidentikan dengan klitoris pada vagina, scrotum diidentikan dengan labia mayora, testis dengan ovarium. ketika lahir bayi memiliki daerah erogen yang sama yaitu mulut. Bayi akan merasakan kepuasan jika ia telah menyusui, kemudian beralih pada anus atau anal, mereka akan senang buang air besar atau kecil sembarang. Di sinilah toilet training perlu diberikan pada anak. Pada periode ini, seksualitas genital belum memainkan peranan.
Berdasarkan cara-cara dalam menyalurkan energi libidinalnya, maka perkembangan manusia dapat dibedakan menjadi; fase oral, anal, phallic dan fase genital.
Pada fase phalic, kepuasan seksualitas masih berkisar pada dirinya sendiri (otoerotisme), pada fase ini anak-anak mungkin akan melakukan masturbasi, namun lama kelamaan ia akan mencari objek di luar dirinya.
Objek pertama yang dipilih ialah ibunya. Freud menyebutnya “Oidipus Complex”. yaitu bahwa keinginan erotis anak laki-laki terarah pada ibunya, sedangkan ayah berada pada posisi pesaing, sehingga anak laki-laki akan lebih dekat dengan ibunya dibandingkan dengan ayahnya. Akan tetapi, Freud menegaskan bahwa hal ini berada pada alam bawah sadar. Freud juga menggaris bawahi ambivalensi perasaan yang menyertai oidipus complex. Dengan ambivalensi perasaan yang dimaksudkannya bahwa cinta akan ibu bisa saja berbarengan dengan agrevisitas, sedangkan benci terhadap ayah dapat tercampur dengan simpati, sehingga oidipus complex tidak begitu kentara apalagi hal ini berada pada alam bawah sadar. hal yang sama berlaku juga bagi anak perempuan.
Pada proses perkembangannya, anak-anak akan menemukan perbedaan anatomis antara kedua jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Untuk seterusnya dialami oposisi antara laki-laki sebagai pemilik penis dengan anak perempua yang tidak memilikinya. Hal ini disebut sebagai “Castration Complex”, dalam castration complex ini terjadi kecemasan anak laki-laki akan kehilangan penisnya, dan anak perempuan menderita karena tidak memiliki penis. Hal ini juga berada pada taraf alam bawah sadar. Bagi anak laki-laki, castration complex mengakhiri masa oidipus complex. Hal itu berlangsung sekitar umur enam-tujuh tahun.
Dengan itu perkembangan psikoseksual masa anak sudah selesai, lalu menyusul “Periode Latensi“. Dalam periode ini moralitas mencampuri masalah psikoseksual sehingga aktifitas pemuasan libido genital akan berkurang.
Waktu masa pubertas, seksualitas terbentur pada “hambatan-hambatan” moral yang dulu dalam enam tahun pertama belum ada. Dalam tahap ini orientasi seksual sudah mengarah pada persetubuhan sebagai tujuan pemuasan seksualnya, kompleks oidipus sudah dapat diatasi. Remaja laki-laki mulai mengarahkan keinginannya kepada wanita lain dari ibunya. Begitu juga dengam perempuan, akan tetapi remaja perempuan masih terikat pada ayahnya sebagai model bagi pilihan objeknya. Sebagian libidonya dapat disublimir oleh hal lain sehinggga timbulah rasa persahabatan, solidaritas, dan lain sebagainya yang begitu penting bagi kehidupan sosialnya.
Sumber:
Sigmund Freud. Memperkenalkan Psikoanalisa Lima Ceramah. Tenerjemah dan Pendahuluan, K. Bertens. (Jakarta: PT Gramedia, 1983)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar